Jakarta - Keterbatasan sebagai penyandang tunarungu tak membuat Angkie Yudistia terpuruk. Founder dan CEO Thisable Enterprise itu malah menerabas 'tembok' bernama pesimisme dan bangkit berprestasi.
Namun
pencapaian sukses perempuan kelahiran Medan, 5 Juni 1987 itu tak dengan
mudah dilaluinya. Melainkan penuh caci dan diskriminasi hingga pernah
membuatnya depresi.
Dikisahkan, Angkie mengalami tunarungu sejak
berusia 10 tahun. Meski hal itu membuatnya terguncang, namun ia dan
keluarga tetap memutuskan agar dirinya menempuh pendidikan di sekolah
umum.
Praktis, keterbatasan Angkie itu menimbulkan banyak masalah selama
belajar di SD hingga SMA. Tak jarang ia mengaku sering kali menerima
cacian dan hinaan.
"Dulu aku diledekin, dikatain budek, tuli itu
sering banget di lingkungan," ungkapnya. Ketika itu, rasa malu memang
membuat Angkie menutupi jati dirinya sebagai penyandang tunarungu.
"Kalau
ditanya, aku bilang, nggak apa-apa kok. Alat bantu dengar aku tutupi
terus pakai rambut. Tapi nggak bisa dibohongi ya, dan bikin orang curiga
aku kenapa. Aku sering dipanggil nggak denger, guru ngomong, nggak
dengar," sambungnya lagi.
Pernah menyalahkan kondisi? "Itu sering
banget. Kenapa sih Tuhan aku harus begini? Itu pertanyaan yang sering
aku ucapkan. Tapi aku mau menyalahkan siapa? Orangtuaku pun nggak pernah
memperlakukan aku berbeda dengan anaknya yang lain," sahutnya.
Hingga suatu ketika, seorang bapak di kereta api menyadarkannya untuk
bangkit. Singkat cerita, sejak saat itu Angkie pun mulai bisa menerima
keadaan dan berusaha menemukan jati dirinya yang sesungguhnya.
Bungsu
dari dua bersaudara itu pun berusaha bangkit dan mengejar
ketertinggalan. Agar tak tertinggal pelajaran di sekolah, ia belajar dua
kali lebih keras dari teman-temannya yang lain hingga lulus.
"Aku
sadar aku sulit mengikuti pelajaran di sekolah umum. Makanya setiap
pulang sekolah aku pasti les. Banyak baca buku juga. Jadi dua kali
belajar dari yang lainnya dan itu aku benar-benar jalani sampai lulus,"
terangnya.
dilema dihadapi Angkie Yudistia saat lulus SMA. Dokter yang merawatnya
menyarankan agar ia tidak melanjutkan kuliah karena stress bisa
memperparah kondisi pendengarannya.
Saat itu, telinga kanan
Angkie hanya mampu mendengar suara 70 desibel sedangkan yang kiri 98
desibel. Sementara, rata-rata percakapan pada manusia normal berada di
40 desibel.
"Itulah yang membuat aku divonis dokter sebagai
tunarungu pas usia 10 tahun. Makanya aku bisa dengar hanya kalau pakai
hearing aid (alat bantu dengar) saja," ungkap perempuan kelahiran Medan,
5 Juni 1987 itu.
Namun Angkie ngotot untuk tetap meneruskan
pendidikannya. Ia kemudian kuliah dan menyelesaikan studinya di jurusan
periklanan di London School of Public Relations (LSPR), Jakarta, dan
lulus dengan indeks prestasi komulatif 3.5.
Tekad Angkie yang kuat dan kemauan untuk terus menggali potensi diri,
membuatnya tumbuh menjadi anak yang penuh percaya diri. Semasa kuliah,
ia selalu aktif dalam berbagai kegiatan positif.
Angkie tercatat
sebagai finalis Abang None mewakili wilayah Jakarta Barat tahun 2008.
Selain itu ia juga berhasil terpilih sebagai The Most Fearless Female
Cosmopolitan 2008, serta Miss Congeniality dari Natur-e, serta berbagai
perestasi lainnya.
Kecintaan Angkie di dunia pendidikan pun
mengantarnya meraih gelar master setelah lulus dari bidang komunikasi
pemasaran lewat program akselerasi di LSPR. "Dunia komunikasi dan public
speaking memang sudah menjadi passion aku," katanya seraya tersenyum.
Pemilik
tinggi 170cm dan berat 53kg itu pernah pula bekerja sebagai humas di
beberapa perusahaan. "Tapi bukan berarti aku nggak pernah ditolak kerja
ya, sudah sering banget. Alasannya karena waktu mereka tahu aku
tunarungu dan nggak bisa pakai telepon," kisahnya.
Pengalaman
Angkie didiskriminasi itu kemudian memotivasinya untuk membuat Thisable
Enterprise bersama rekannya. Perusahaan itu fokus pada misi sosial,
khususnya membantu orang yang memiliki keterbatasan fisik alias difable
(Different Ability People) seperti dirinya.
"Ketika aku sekarang sudah nyaman dengan diri aku sediri, sekarang
giliran aku untuk membantu orang yang sama seperti aku dulu. Membantu
menyadarkan orang juga agar jangan mendiskriminasi kami," tukasnya.
Kepedulian
pemilik tinggi 170cm dan berat 53kg itu tak berhenti sampai di situ.
Berbagai pengalaman hidupnya mencari jati diri kemudian dituangkannya
lewat buku berjudul 'Invaluable Experience to Pursue Dream' (Perempuan
Tuna Rungu Menembus Batas) akhir 2011 lalu.
Sosok Angkie dan
segudang prestasinya itu menunjukkan bahwa setiap orang, bahkan yang
punya cacat fisik sekalipun bisa jadi luar biasa. "Keterbatasan bisa
jadi kelebihan. Setiap masalah pasti ada jalan keluar asal ada kemauan,"
ucapnya.
Lantas, masih adakah penyesalan sebagai penyandang
tunarungu? "Nggak. Sekarang nggak ada yang aku tutup-tutupin lagi. Aku
cukup bangga dilahirkan seperti ini. Aku memang beda, tapi aku yakin ada
maksud dan tujuan Tuhan kenapa aku seperti ini," tandasnya.
sumber : hot.detikhot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar